Minggu, 17 November 2013

Poorly Destiny ...

Gadis kecil itu menundukan kepalanya. Tangannya mengepal kuat. Wajahnya merah padam. Dia melempar majalah yang dipegangnya dengan kasar kelantai. Terdengar suara isak kemarahan yang diselingi isak tangis ketika dia berlari ke kamarnya.
 BRUKKK
Pintu kamarnya dibanting dengan keras. Aku menatapnya heran. Ada apa dengannya? Pandanganku kini terarahkan pada majalah yang dilemparnya. Aku berdiri dan mengambil majalah itu. Pantas saja dia marah. Ternyata ini sebabnya. Aku pun melangkah menuju pintu yang dibanting keras itu. Kuketuk lembut dan kupanggil namanya.
  "Jessica! Bisakah kamu membuka pintu?" ujarku lembut. Tak ada jawaban darinya. Aku mencoba mengetuk pintunya lagi. Namun masih sama, tak ada jawaban dari dalam. Aku melangkah mendekati laci di dekat pintu kamar ini. Kuambil sebuah kunci ganda di sana. kucoba membuka pintu itu dan akhirnya pintu itu dapat kubuka. Bisa kulihat, dia sedang duduk di sudut kamar. Menenggelamkan wajahnya di dalam lipatan tangan yang bertumpu pada lututnya.
  "Hey! Sedang apa kamu di situ?" tanyaku dan mencoba mendekatinya. Dia mengangkat wajahnya. Menatapku lama dan segera berlari kearahku. Memelukku sangat erat, seolah dia benar-benar tidak ingin dipisahkan dariku. Aku mengusap rambutnya lembut. Mencoba membuatnya nyaman berada di dekatku. Dia masih tetap menangis tanpa berkata apapun. Aku mengangkat tubuhnya yang masih ringan itu. mendudukkannya di atas kasur berlapiskan seprai berwarna biru lautnya yang indah.
  "Aku tidak mau melihatmu menangis seperti ini. Bukankah aku sudah bilang, kamu harus jadi gadis kuat. Apa kamu melupakan pesanku itu?"
  Dia menggeleng ragu.
  "Aku tahu kamu marah, tapi bersikap seperti tadi kurasa bukan suatu hal yang baik. ucapkanlah kalimat suci padaku!" lanjutku sambil tersenyum manis padanya. Dia menunduk malu. Mengerjap-ngerjap matanya dan menatap mataku dalam.
  "Maafkan aku ... Athena,"
Aku mengangguk dan tersenyum. Tanganku terulur mengusap lembut surai hitam berkilauannya. Aku berdiri dan membalik keluar. Perasaannya sudah mulai membaik. Kurasa, aku bisa meninggalkannya sebentar. Baru saja genap enam langkah, tangan hangatnya menggenggam tanganku.
  "Aku ingin Milkshake,"
Aku hanya tersenyum dan segera menuntunnya ke kedai paman Astra. Kedai yang cukup dekat dari rumahku. Dia masih diam membisu. Tak mau berkata sepatah katapun padahal aku sudah memberikannya satu cup Milkshake.
  "Athena, sehina apakah aku sampai ayah tak mau mengakuiku sebagai anaknya di media?" tiba-tiba dia berujar. kalimat yang sungguh aneh, yang sontak membuatku tergagap dibuatnya. Aku hanya terdiam dia membuatku bingung.
  TINNNNN
"Hey bocah ingusan!! Gunakanlah matamu untuk melangkah. Athena masuk kerumah, biarkan anak itu disana!!" ayah berseru sangat kencang membuat gendang telingaku pecah seketika. Jessica jatuh tersungkur di rumput samping jalan. Aku mencoba menolongnya tapi ayah menarikku kedalam rumah. Ayah menyeretku ke dalam kamarku dan mengurungku di dalam.
 "Ayah peringatkan, jangan pernah bergaul dengannya lagi!!!"
Itulah seruan terakhir yang dapat kudengar. Entah bagaimana nasib Jessica yang sedang terluka diluar sana. Aku ingin menolongnya tapi aku tak bisa. Aku tidak tahu, ayah memang telalu kejam pada Jessica. Bocah berumur 12 tahun itu diperlakukan dengan semena-mena olehnya. Diminta membereskan rumah, mencuci mobil, memangkas taman. Pekerjaan itu terlalu berat untuk dikerjakan seorang bocah berumur 12 tahun. Sedangkan aku? Diumurku yang sudah menginjak 21 tahun ini, ayah tidak mengijinkanku untuk hanya sekedar memasak air panas. Aku idak tahu apa yang harus kulakukan, yang terlintas di otakku hanyalah tidur dan segera terlelap agar besok pagi aku bisa melihat keadaan Jessica.


Bersambung ......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar