Jumat, 05 Desember 2014

Waiting Destiny (End)

'Sebesar apapun rasa cintaku padanya, walaupun
jiwa, raga dan nyawa ku pertaruhkan tetap saja
dia tak akan pernah menjadi milikku. Cinta itu
memang menyulitkan.'
Semilir angin berhembus cukup kuat dan
kurasakan menusuk kulitku. Aku pandang kosong
butiran air hujan yang turun dari langit di
belakang jendela kamarku. Sambil menatap aku
terus berdoa agar takdir iu bisa diubah dengan
cara apapun.
"Apa harapanku terlalu banyak? Aku mohon..
Untuk kali ini saja, kabulkan permintaanku
tuhan!"
Aku mengepalkan kedua tanganku, mengalihkan
pandanganku ke langit.
"Memang apa yang kau minta?" seseorang
berujar di belakangku. Dia memelukku erat
sekali. Dagunya menempel di pundakku.
Kehangatan tubuhnya seolah terserap oleh
dinginnya tubuhku.
"Tidak Kak tidak ada," ucapku lembut. Dia
tersenyum dan menatap arah yang sama
denganku. Pria ini adalah kakak kandungku.
Gavin Russell. Dia pria yang sangat baik,
tampan dan penuh kelembutan. Dia yang selalu
menemaniku dalam keadaan apapun. Dia adalah
orang yang berperan sangat penting dalam
kehidupanku.
"Badanmu dingin sekali, sudah lama, ya, aku
tidak memeluk adikku seperti ini!" ucapnya dengan sesekali menggerakan kepalanya
seperti sedang bersenandung. Aku hanya
terdiam, aku rasa air mataku sudah tak dapat
dibendung lagi. Aku menangis terisak. Kak Gavin
membalikan
tubuhku.
"Ada apa? Siapa yang membuatmu menangis?"
tanyanya dengan sangat khawatir.
"Tidak aku tak apa, maukah Kakak membacakan
dongeng untukku?" ucapku mengalihkan
perhatiannya. Dia mengangguk lalu memapahku
ke tempat tidur. Dia berjalan mendekati rak
buku dan mengambil sebuah buku.
"Kau suka cerita Aladin?"
Aku hanya mengangguk. Dia mulai menceritakan
kisah aladin menemukan lampu ajaib. Hingga
mungkin sekitar 35 menit, dan cerita pun telah
selesai.
"Tidurlah, aku sudah selesai membacakan
dongengnya!" ucapnya dengan senyum yang
mengembang. Aku hanya diam, Kakak menatapku
heran.
"Sebenarnya apa yang menyerangmu? Kenapa
kau berubah seperti ini?"
Wajahnya sangat khawatir, mengingat aku ini
tipikal gadis periang namun kali ini aku memilih
untuk diam. Hingga akhirnya...
"Kakak tau tidak apa yang akan kuminta jika aku
mendapatkan lampu ajaib seperti Aladin?"
Keheningan mulai pecah dengan suaraku itu. Kini Kak Gavin tersenyum.
"Memangnya apa?"
Dia bertanya dengan menunjukan senyuman yang
sangat manis, membuatku err.. terpesona. Aku
diam sekejap.
"Aku akan meminta agar Kakak tidak menikahi Cassandra satu bulan lagi!" ucapku hati-hati. Dia mengerenyitkan dahinya.
"Kenapa? Apa Cass bukan orang yang baik?" tanyanya. Dia akan menikah satu bulan lagi dan
aku malah berkata seperti ini. Bodoh!
"Dia sangat baik (aku memaksakan untuk
tersenyum). Dan Kakak tau permintaan apa yang
akan aku minta selanjutnya?" ucapku, dia sedikt
linglung dengan semua ucapan yang aku
sebutkan itu. Dia menggeleng.
"Aku akan minta agar Kakak dan aku tidak
memiliki ikatan keluarga!"
Dia mengerjapkan matanya. Wajahnya
terlihat sangat terkejut. Sesuatu menyerang
pikirannya kurasa.
"Tunggu. Sebenarnya ada apa? Kenapa? Apa aku
tidak pantas menjadi Kakak-mu?"
Kini dia mendekatkan tubuhnya ke salah satu sisi
tempat tidurku.
"Kau terlalu baik untuk menjadi Kakakku!
Dan kau harus dengar permintaan apa yang akan
kuminta untuk permintaan terakhir yang Jin
lampu berikan padaku,"
Kak Gavin menatapku dengan wajah yang
khawatir dan ketakutan.
Dia... expresi ini belum pernah aku lihat. Ini
adalah kali pertama aku melihat wajah tampan
itu tak terulas sebuah senyuman manis.
"Aku akan minta agar yang menikah bulan
depan, yang bersanding di altar itu adalah aku
dan kau, Cassandra!!"
Kak Gavin terperanjat. Tubuhnya sedikit
terdorong kebelakang karena mungkin dia amat
sangat terkejut dengan apa yang ku ucapkan
barusan. Suasana menjadi sangat canggung,
kurasa dia tidak tahu harus berkata apa
lagi. Aku menaikan selimut dan cepat
menutupkan mataku. Sekarang sudah jelas
perasaan ini sudah terungkap.
"Kau tahu Em? Bila aku memiliki keberuntungan
Aladin___ Aku juga akan meminta hal
yang sama denganmu!" ucapnya lirih lalu pergi
dan meninggalkanku. Mataku membulat dan
tubuhku beku seketika. Langkahnya sudah tak
terdengar lagi. Aku menampakan wajahku yang
tadinya tertutupi oleh selimut. Jadi Kakak juga
merasakan hal yang sama?
Aku menutup kamarku rapat-rapat menangisi
takdir yang jelas bukan milikku. Apa yang akan
kau lakukan bila kau mencintai sesorang yang
tidak akan pernah menjadi pendamping
hidupmu? Apa yang bisa kau lakukan? Mengubah
takdir? Hah.. Konyol.
Mataku sangat merah, panas rasanya. Inginu aku
menghembuskan nafas terakhirku saat ini juga.
Sepanjang malam aku menangis hingga aku
terlelap. Semua ini sangat melelahkan. Aku
sungguh membenci takdir yang jelas -jelas
sangat kubenci. This is not my destiny!! Aku
benci hidupku.
TOKK TOKK
"Em! Emily! kau tidak mau bangun, kah?" teriak
Ibu didepan pintu kamarku. Aku hanya diam,
tak menjawab apapun yang diucapkan olehIbu.
Kudengar Ibu menggerutu tak jelas
lalu pergi. Aku berdiri, menatap pantulan
wajahku di cermin. Sangat buruk. Aku seperti
Vampire kekurangan darah. Sungguh buruk
sekali.
Dengan segera, aku mandi dan siap-siap pergi ke
sekolah. Dari jendela kamar, kulihat Kak Gavin dan Cassandra
sedang mengobrol sambil tertawa.
Aku tersenyum, namun air mataku tetap
menetes. Aku tak bisa menahannya.
"Em! Emily! Emily, kau tidak akan sekolah apa? Ini sudah
siang!!"
"Ya, Ibu aku sedang bersiap!"
Aku langsung menyapu buliran air mata yang
sangat mengganggu itu dan berjalan menuju
dapur.
Pernyataanku semalam benar-benar bodoh!
Aku membawa Sepeda dan pergi lewat halaman
belakang, agar Kak Gavin tidak usah repot-repot
mengantarku. Aku terus menangis, kuputuskan
untuk pergi ke taman kota. Ya, untuk membolos
dan menenangkan hatiku. Orang berlalu-lalang
melewatiku. Mereka terlihat sangat bahagia.
Mereka bercanda, tertawa, seperti sedang
mengejekku. Aku menaikan lutut ke atas bangku
taman dan menekuk kepalaku. Aku menangis
dengan sangat lemah. Seperti seorang kehilangan
harta paling berharga dalam hidupnya.
"Emilly..."
Seseorang memanggilku lirih, entah darimana.
Aku tak mempedulikannya. Aku terlalu tenggelam
dalam kepedihanku.
"Apa yang kau lakukan disini?"
"Tentu saja membolos!" jawabku tanpa rasa
bersalah, takut atau apapun. Dia tertawa
meledek lalu duduk di sampingku.
"Aku mau mengajakmu membeli Kebab,"
ucapnya lembut, aku hanya diam. Dia, kan tahu
aku tidak suka makanan menjijikan itu.
Banyak sekali pernyataan yang dilontarkannya
tapi aku tidak menjawabnya. Bahkan menunjukan
wajahku saja tidak.
"Apa kau akan terus mendiamkan Kakak mu ini?"
Aku menggeleng.
"Aku mau minta maaf Kak. Semua ini salahku,
aku biang masalah dari semua ini!!"
Aku memberanikan diri menunjukan wajahku.
Kak Gavin tersenyum simpul. Dia mengacak pelan
puncak rambutku.
"Kak, apa mencintai itu adalah sebuah dosa?"
"Kau tahu? Cinta itu anugerah. Dan aku rasa
cinta bukan sebuah dosa.." dia tersenyum sangat
manis sambil terus membelai rambutku.
"Walau semacam cintaku pada Kakak?"
"Dengarkan aku, Em... Cintaku padamu lebih
besar daripada rasa cintaku pada Cassandra. Kau tahu
kenapa? Karena kau adalah adikku! Kita tidak
akan pernah bisa bersatu. Walau begitu, aku
akan menjagamu setiap waktu, aku akan
menyayangimu setiap saat tapi kita tidak bisa
menjalin suatu hubungan yang lebih daripada
adik-kakak. Mengerti?"
Aku menundukan kepalaku. Detik selanjutnya aku
tersenyum dan menatapnya lembut. Seolah
mengerti dan menerima atas semua hal yang
kami alami, atas ucapannya yang menyayat
hatiku. Tidak mungkin bersama katanya.
Kau tahu? Cinta itu selalu seperti ini. Timbul
secara tiba -tiba. Membuat kita tersakiti. Dan
menghancurkan kehidupan. Kami tak
akan pernah bisa menyatu karena ada sebuah
jarak yang memisahkan kami. Layaknya bulan
dan matahari yang selalu berpisah tak pernah
bersatu. Walau ada cinta yang sungguh besar
dan dahsyat, kami tetap tak akan pernah bisa
bersatu. Karena, diantara kami tercipta sebuah
jarak yang tak dapat di lalui. Dan akhirnya, aku
hanya bisa menjadi seorang gadis polos periang
yang selalu mengagumi seorang All_Gavin Russell..